Selasa, 15 Januari 2013



Perubahan Paradigma Berfikir Masyarakat dan Pengaruhnya Pada Dunia Pewayangan

1.Pendahuluan
Bukan suatu hal yang mudah bagi penulis untuk memaparkan mengenai dunia pedalangan dan pewayangan pada umumnya, dengan berbagai macam problematikanya. Itu disebabkan kerena penulis baru sedikit sekali berkecimpung dalam dunia pedalangan dan pewayangan. Kalau bisa diibaratkan, penulis hendak berenang di lautan, tetapi penulis masih berada dipinggiran pantai dan baru terciprati oleh air laut yang terhempas angin. Tetapi dengan sedikit pengetahuan yang penulis miliki, penulis berusaha menggali dunia pedalangan dan pewayangan dengan berbagai problematikanya.
2.Sejarah Wayang
Pertunjukan Wayang di perkirakan sudah ada sejak zaman Jawa kuno (tahun 908), yaitu pada masa pemerintahan Raja Dyah Balitung dari kerajaan Mataram kuno. Mengenai pertunjukan itu tersurat dalam prasasti Wukajana sebagai berikut :
“hinyunaken tontonan mamidu sang tangkil hyang sinalu macarita bhima kumara mangigel kicaka si jaluk macarita ramayan mamirus mabanyol si mungmuk si galigi mawayang buat hyang macarita ya kumara ...”.
“diadakan pertunjukan, yaitu menyanyi(nembang) oleh Sang Tangkil Hyang Sinalu bercerita Bhima Kumara dan menarikan Kincaka. Si Galigi memainkan wayang untuk Hyang(arwah nenek moyang) dengan cerita (Bhima) Kumara”.
Dari Prasasti Wukajana tersebut, setidaknya kita bisa mengambil beberapa poin. Yang pertama, bahwa pertunjukan wayang sudah ada sejak zaman Mataram kuno pada abad ke-9M, dengan bukti tersurat dalam prasasti tersebut. Meskin dalam prasasti tersebut tidak disebutkan secara jelas seperti apa model pertunjukan wayangnya. Yang kedua, isi cerita dari pertunjukan wayang adalah mengisahkan Bhima kumara yang berasal dari epos Mahabarata. Yang ketiga, bahwa tujuan diadakannya pertunjukan wayang adalah sebagai persembahan kepada Hyang. Dan yang terahir, pada masa itu pertunjukan wayang juga sudah dibarengi dengan nyanyian dan tari-tarian. Masih ada bebrapa prasasti yang memuat sejarah pertunjukan wayang yang tidak penulis lampirkan disini.
Dari rentang masa perkembangan Wayang yang begitu panjang, dari zaman dahulu hingga masa modrn seperti sekarang ini, tentunya wayang telah mengalami banyak perubahan, baik dari segi setting pertunjukannya, tujuan pertunjukan dan lain sebagainya, karena berbagai macam faktor. Apalagi ditambah dengan masuknya berbagai budaya baik dari Asia dan budaya Islam maupun Budaya Barat dan perubahan sosiopolitik dengan datangnya penjajah, era kemerdekaan, era orba dan era reformasi tentu sangat berpengaruh pada perkembangan wayang.

3.Pengertian Paradigma Dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Pewayang
Apa itu paradigma ? Secara singkat, paradigma adalah kumpulan tata nialai yang membentuk pola pikir seseorang sebagai titik tolak pandangannya sehingga akan membentuk citra subyektif seseorang –mengenai realita-dan ahirnya akan menentukan manusia menaggapi realita itu. Perubahan paradigma berfikir secara radikal dapat menyebabkan hilangnya jati diri suatu Bangsa, dan terjebak pada pencarian jati diri yang baru.
Wayang yang masih tetap eksis pada masa sekarang ini hanya wayang kulit/golek dengan cerita Ramayana dan Mahabarata. Wayang ini masih bisa terus bertahan karena mempunyai cerita maupun setting pagelaran yang paling menarik dan lebih familiar dalam masyarakat. Disamping itu, wayang ini juga lebih bisa menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Dan yang paling jelas tidak terjadi keterputusan regenerasi pada dalang wayang tersebut.
Ada banyak orang yang mengatakan bahwa sekarang ini pertunjukan wayang mulai langka, tetapi berdasarkan pengamatan penulis justru sebaliknya. Saudara-saudara bisa melihat jadwal pertunjukan wayang di seluruh tanah air pada grup facebook Pagelaran Wayang Kulit yang begitu padat. Bahkan pertunjukan wayang sekarang sudah mendunia, apalagi semenjak wayang diakui oleh unesco sebagai warisa Budaya Dunia pada tahun 2003 silam. Bahkan sekarang ada wadah organisasi Dalang yang dikenal dengan nama PEPADI(Perkumpulan Para Dalang Indonesia), yang mewadai seluruh Dalang secara Nasional dan disetiap Daerah ada cabangnya. Belakangan ini juga ada lembaga-lembaga maupun yayasan yang khusus menseponsori pertunjukan wayang dan pelestariannya. Jadi berdasarkan pengamatan penulis, pertunjukan wayang secara kuantitas masih tetap eksis dan pada setting pertunjukannya bahkan semakin sempurna dengan bantuan tekhnologi masakini.
Terus apa yang membedakan pagelaran masa lalu dengan masa kini?. Pada zaman dahulu, dari segi kuantitas baik setting mataupun model pementasan pagelaran wayang sangat sederhana dibandingkan dengan masa sekarang ini. Tetapi secara kualitas pagelaran wayang pada masa lalu lebih hidup. Itu disebabkan karena wayang pada zaman dahulu bukan hanya sekedar  tontonan, tetapi sekaligus menjadi tuntunan. Berbeda dengan sekarang, wayang hanya sekedar  tontonan. Sebenarnya kalu ingin mempelajari tentang kebudayaan masyarakat jawa masa lalu, cukup lewat cerita-cerita wayang, karena cerita-cerita wayang, pada zaman dahulu oleh masyarakat jawa diresapi dan direpresentasikan pada kehidupan sehari-hari. Orang zaman dahulu mempunyai sudutpandang bahwa cerita wayang mempunyai nilai yang tinggi, sehingga masyarakat menghargai lakon-lakon wayang dan menjadikannya tuntunan. Sedangkan di masa generasi sekarang, mereka mempunyai sudut pandang yang berbeda, mereka menganggap cerita-cerita wayang hanya sebagai tontonan beaka, sehingga  mereka menilai cerita wayang hanya biasa saja dan tidak berbeda dengan cerita-cerita lainnya, sehingga mereka kurang menghargai dengan cerita-cerita wayang.
Telah terjadi perubahan pola pikir pada generasi masakini yang merupakan audiens dari pertunjukan wayang seperti yang sudah dipaparkan diatas. Tetapi perubahan pola pikir ini ternyata tidak hanya terjadi pada lingkingan masyarakat yang sebagai audiens, tetapi terjadi pada para dalang sebagai pelaku aktif dari pertunjukan wayang. Pada zaman dahulu darma seorang dalang adalah untuk meruat dan memberikan ajaran budi pekerti luhur lewat wejangan-wejangan yang di selipkan pada cerita yang dipentaskan. Para dalang zaman dahulu/dalang sepuh lebih mengutamakan kualitas dari isi cerita yang dipentaskannya. Sedangkan pada belakangan ini, banyak dalang yang mengedepankan hiburan, seperti campursari(biasanya pada adegan limbukan) dibanding kualitas isi cerita. Bahkan terkadang ada pemnggalan cerita, ini tentu bukan hanya merubah pakem, tetapi juga merubah makna filosofi cerita yang dipentaskannya, sehingga orang yang menontonnya akan merasa garing.
Salah satu yang bisa mengancam langkanya pertunjukan wayang adalah mahalnya pertunjukan wayang. Ada dalang yang sekali pentas meminta honor 60-100juta, tentu ini bukan nilai nominal yang kecil. Hal seperti ini nampaknya hanya sesuatu yang sederhana, tetapi bisa berdampak besar.
4. Kesimpulan
Faktor yang mempengaruhi semakin tenggelamnya Budaya warisan masalalu/nenek moyang dalam suatu kelompok masyarakat adalah karena terjadi perubahan paradigma berfikir masyarakat tersebut, yang disebabkan oleh berbagai faktor, salahsatunya karena faktor globalisasi.
Wayang sebagai salah satu warisan budaya yang adiluhung juga mengalami perubahan baik fungsi maupun nilainya ditengah-tengah masyarakat. Wayang akan hilang dari tengah-tengah masyarkat  jika masyarakat sudah tidak membutuhkan wayang lagi. Akan tetapi, selagi masyarakat masih membutuhkan wayang, entah itu sebagai tontonan, tuntunan ataupun penghasil ekonomi  maka wayang akan tetap ada di tengah-tengah masyarakat. Fungsi dan nilai wayang akan terus mengalami perubahan sesuai dengan berubahnya pola pikir masyarakat pelaku wayang(orang jawa).
Perubahan paradigma berfikir adalah suatu kewajaran, tetapi perubahan paradigma berfikir secara radikal akan menghilangkan jati diri suatu bangsa, dan menyebabkan terjebak dalam pencarian jatidiri yang baru.


Daftar pustaka
S.Haryanto.1988.Pratiwimbo Adiluhung.Penerbit Djambatan
Berita Nasional. “Pengertian Paradigma”. Diakses dari Pitcing.blogspot.com pada 13 januari 2013
Wahana, Paulus.2004.Nilai Etika Aksiologis Max Scheler.Yogyakarta: Kanisius






















Perubahan Paradigma Berfikir Masyarakat dan Pengaruhnya pada Dunia Wayang



Oleh :
Muh.Luthfi alfirdaus
NIM: 1210112016
Jurusan Pedalangan
Fakultas Seni Pertunjukan
Institut Seni Indonesia
2012-2013

Lirik masalalu, terdengar indah hari ini.

Bukan suatu pekerjaan yang mudah untuk membalik dunia. Disaat hampir semua orang telah mabuk, sulit bagi seorang diri untuk menyadarkanya, apalagi mabuknya bukan lagi mabuk anggur, tapi mabuk jiwa. Tetapi bagaimanapun, dinegri ini masih ada orang yang sadar, dan mereka harusnya menyadarkan yang telah mabuk.
Waktu SMA dulu, saya sering mengeluh, kenapa aku harus lahir di Indonesia ?. Waktu itu aku berfikir, tak ada yang bisa di banggakan dari Indonesia, politiknya, ekonominya, sosial budayanya, tata negaranya dll, semuanya penuh tanda tanya (?), tanda tanya yang tak pernah ada jawaban. Tetapi untungnya rakyat Indonesia adalah orang hebat, mereka tetap punya harapan, untuk menanti jawaban, (oh gila).
Masa putih abu-abu berlalu, kini warna pelangi. Saya kuliah di jurusan seni pedalangan, suatu pilihan yang kontrofersial. Kebanyakan orang yang mendengarnya akan tertawa(ngenyek), kecuali orang tuaku yang selalu terus mensuport, dan teman-temanku yang selalu mendukung kegilaanku. Hari ini aku berenang dilautan baru, dan ku temukan permata yang baru. Meski baru setetes embun yang menyinariku, setetes embun itu telah membasahi mata, pikiran dan hatiku. sekarang aku menjadi bangga dengan bangsaku, dengan diriku. Itu bukan berarti aku tidak konsisten, tetapi kebenaran dan keyakinan yang sejati bisa kita temukan ketika kita terus melaju berjalan.
Meski secara ekonomi, sosial budaya, politik, tatanegara, hukum dll bangsa ini rapuh. Tetapi bangsa ini punya kekuatan mental dan spiritual(kekuatan jiwa), yang membuat raganya tetap bertahan hidup dalam kondisi yang tidak memungkinkan.
Anda akan bangga dengan budaya bangsa anda, ketika anda sudah tahu seperti apa budaya anda. Itulah yang saya alami. Kita tidak bangga karena kita belum tahu.
Anda akan takut dengan kucing ketika anda tahu kalau kucing itu berbahaya, tetapi apakah anda akan takut dengan harimu ketika anda tidak tahu kalau harimau itu berbahaya, apalagi kalau harimaunya bencong,hehe.
Kita tidak bangga dengan bangsa kita, karena kita tidak kenal dengan bangsa kita sendiri (potensinya), tetapi kalau anda sudah kenal anda akan jatuh cinta.
Jangan kita memandang dunia sebatas apa yang ada pada pendengaran, mata atau akal kita. Tetapi tataplah juga dunia dengan pendengaran, mata dan kuping orang lain. Anda akan menjadi orang paling bijak seperti Muhammad.

Sabtu, 12 Januari 2013

Pembuat Blangkon Srisultan dan Keluarga Keraton


(Mbah Rejo sedang membuat Blangkon)








Pembuat Blangkon Keraton sekaligus abdi dalem pembawa songsong (payung) pusoko keraton ngayugyokarto hadiningrat . Beliau adalah Wedono H.Ngudi Pawoko yang selalu setia memayungi Sri Sultan Hamengku Buwono X pada setiap acara ritual Kraton Jogja.
Beliau lebih dikenal dengan nama Mbah Rejo, usia beliua sekarang sudah menginjak 81 tahun, namun beliau masih tetap produktif membuat Blangkon berbagai model, baik Metaraman(jogja) maupun model Solo. Bahkan sesekali ada orang yang memesan model Ciamis. Pada masa muda dulu, sebuah Blangkon dengan 14 sampai 17 weru dapat dirampungkan dalam waktu 3jam. Itupun hanya di terangi dengan lampu senthir (lampu minyak kecil). Sekarang karena penglihatannya sudah tak setajam dulu, untuk menyelesaikan satu blangkon Mbah Rejo membutuhkan waktu 2hari. Untuk mengerjakan semua itu Mbah Rejo di bantu Istrinya.
Batik tulis kira-kira selebar 105X105 cm harganya 100rb, sedangkan jasa pembuatannya dihargai 60rb. Tetapi terkadang karena sangat puas orang yang memesan memberi lebih.
Bagi Mbah Rejo ketrampilannya membuat blangkon adalah berkah. ketrampilan inilah yang telah membawanya sampai pada lingkungan keraton hingga Raja. Ia sudah mengabdi semenjak sebagai bekelsepuh, lurah hingga wedana. Tugasnya sebagai pembawa payung pusoko keraton bukanlah tugas yang sederhana. Untuk menjalankan tugas itu, seseorang harus tirakat. sebuah laku untuk membersihkan zahir dan batin.






                               





Asal-muasal Blangkon






Blangkon adalah penutup kepala kaum pria sebagai pelengkap pakain tradisional jawa. Blangkon sebenarnya bentuk praktis dari iket yang terbuat dari kain batik. Tidak ada catatan sejarah yang jelas kapan orang jawa mulai memakai penutup kepala.
Dalam cerita rakyat dulu, ada legenda tentang ajisaka yang mengalahkan raksasa prabu dewata cengkar dengan cara prabu dewata cengkar di suruh mengulur sorban penutup kepalanya ajisaka hingga terjatuh kedalam samudra. Dari legenda ajisaka inilah tulisan jawa lahir mengisahkan tentang utusannya(caroko) ajisaka.
Ada teori yang mengatakan bahwa pemakaian blangkon merupakan pengaruh dari hindu dan islam yang di serap oleh orang jawa. Menurut para ahli, islam masuk ke tanah jawa di bawa oleh dua etnik, yaitu etnik cina dari dataran tiongkok dan pedagang dari gujarat yang merupakan keturunan arab. Orang gujarat selalu menutup kepala mereka dengan sorban, inilah yang menginspirasi orang jawa memakai penutup kepala.
Ada teori lain dari para sesepuh yang mengatakan, bahwa zaman dahulu ikat kepala tidaklah permanen seperti sekarang, ikat kepala zaman dahulu hanaya kain seperti sorban yang bisa di lepas. Tetapi karena terjadi perang yang berimbas pada krisis politik dan terjadi kelangkaan kain, maka pihak keraton memerintahkan para seniman untuk membuat ikat kepala yang simpel dan tidak memakan bahaan kain banyak, maka terciptalah Blangkon.
Pada zaman dahulu memang blangkon hanya bisa dibuat oleh seniman ahli dengan pakem(aturan) yang baku. semakin memenuhi pakem yang di tetapkan, maka nilai blangkon akan semakin tinggi. Seorang ahli kebudayaan bernama backer pernah meneliti tentang pembuatan blangkon, ternyata pembuatan blangkon membutuhkan keahlian yang disebut "virtuso skill" menurutbya : "That an objeck is useful, that it required virtuso skill to make-neither of these precludes it from also thought beatiful. Same craft generete from within their own traditon of feelling for beauty and with it appropriete aesthetic atandards and common of taste".
Blangkon sebenarnya hanya terbuat dari kain iket atau udeng berbentuk persegi empat. Ukurannya kira-kira 150X150cm. Yang digunakan hanya separuh kain tersebut. Pada umumnya blangkon berukuran 48 paling kecil dan 59 paling besar. Blangkon terdiri dari beberapa tipe, yitu menggunakan mendolan, yaitu tonjolan pada bagian belakang blangkon pada blangkon medel jogja. Tonjolan ini menndakan model rambut pria masa itu yang panjang dan diikat di belakang, sehingga bagian itu tersembul pada bagian belakang blangkon.
Model trepes yang merupakan gaya surakarta/solo merupakan modifikasi dari gaya jogja, karena pada masa itu kebanyakan pria sudah berambut pendek. Selain dari suku jawa (sebagian besar dari jawa tengah, jogja dan jawa timur), ada beberapa suku lain di indonesia yang memakai ikat kepala mirip dengan blangkon jawa, yaitu : suku sunda (sebagian besar jawa barat dan banten), suku betawi, suku madura suku bali dan lain-lain, hanya saja dengan pakem dan bentuk yang berbeda-beda.





(Ikat kepala Khas Bali)
 


(Tutup Kepala dari Pulau Rote)




(Topi Meukutob Khas Aceh)



(Caping/Tutup Kepala Petani)


Macam-macam Tutup Kepala Khas Indonesia

Kalian harus bangga dengan Tutup mustoko/sirah/ndas alias kepala yang bangsa kita miliki. Ni macam2 tutup kepala khas Indonesia...




                                                                  (Blangkon Sunda)







                                                               (Blangkon Cirebon)













                                       (Blangkon Betawi)







(Blangkon Jogja)


(Blangkon Solo)


(Blangkon Jawa Timuran)



(Blangkon Padang)



(Tutup Kepala Nasional/Songkok)


Silahkan di pilih...
Itu baru tutup kepala dari beberapa daerah saja. Ternyata bangsa indonesia paling kaya dengan tutup kepala. Saking sopannya, nenek moyang kita dahulu bukan hanya badan yang di tutupi, tapi juga kepala di tutupi. Kalau sekarang badan dan kepala g' perlu ditutupi, hahaha....


Mbah Blangkon Berfirman

Wahai umat manusia, khususnya orang-orang jawa. Q sebagai mbah blangkon merasa bingung dengan kalian. Banyak budaya kalian yang g' kalian rawat aliaz di mubazirkan, giliran d ambil malaysia kalian menggonggong. Sumpah, Q sebagai mbah blangkon merasa bingung dengan fenomena ini, Kalian to gila apa emang kecerdasen, tpi kayaknya g' masuk kategore kedua2nya....
maka dari itu Mbah Blangkon bersabda " bismillahirromanirrohim, ayo kita jaga budaya kita, sebelum di colong orang lain trus kalian menggonggong kayak anjing gila, hahaha (tertawa jahat) ".